Israel menuduh Presiden Prancis Emmanuel Macron melancarkan “perang salib” terhadap negara Yahudi setelah ia mendorong Eropa memperkeras sikap dan mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Pernyataan ini memicu ketegangan diplomatik baru. Apa latar belakang dan dampaknya? Simak fakta berikut!
Tuduhan Israel terhadap Macron
Israel mengkritik Macron pada 30 Mei 2025, menyebutnya memulai “perang salib” karena menyerukan Eropa untuk mengambil sikap tegas terhadap Israel jika kondisi kemanusiaan di Gaza tidak membaik. Kementerian Luar Negeri Israel menolak tuduhan adanya blokade kemanusiaan, menyebutnya kebohongan. Akibatnya, Israel mengecam usulan Macron untuk mendukung pengakuan Palestina, menganggapnya sebagai hadiah bagi kelompok militan. Tuduhan ini merujuk pada serangan 7 Oktober 2023, yang memicu konflik Gaza saat ini. Dengan demikian, pernyataan Israel mencerminkan ketegangan diplomatik yang meningkat.
Dorongan Macron untuk Palestina
Macron vokal menyuarakan dukungan terhadap Palestina, menekankan perlunya Eropa memperkeras posisi kolektif terhadap Israel. Ia menyerukan sanksi jika Israel tidak memperbaiki akses kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Macron menyebut pengakuan Palestina sebagai kewajiban moral dan kebutuhan politik. Prancis berencana menggelar konferensi internasional di New York pada Juni 2025 bersama Arab Saudi untuk memajukan solusi dua negara. Oleh karena itu, langkah Macron menunjukkan komitmen kuat pada perdamaian Timur Tengah.
Konteks Krisis Kemanusiaan Gaza
Krisis di Gaza memperburuk situasi, dengan blokade bantuan memicu kelaparan dan kematian akibat kekurangan gizi. Lebih dari 70.000 anak di bawah usia lima tahun berisiko mengalami kekurangan gizi akut dalam beberapa bulan ke depan. Macron menyoroti pemblokiran bantuan sebagai pelanggaran serius, merusak kredibilitas internasional. Sementara itu, Israel membantah tuduhan ini, menegaskan tidak ada pembatasan kemanusiaan. Dengan demikian, perbedaan narasi ini memperumit upaya penyelesaian konflik.
Reaksi Publik dan Diplomatik
Pernyataan Macron memicu beragam respons. Sebagian pihak memuji inisiatifnya sebagai langkah berani untuk mendukung Palestina, terutama di tengah krisis kemanusiaan. Namun, Israel mengecam keras usulan ini, menyebutnya menguntungkan militan. Negara-negara Eropa menunjukkan pandangan terpecah, dengan beberapa siap mengakui Palestina, sementara lainnya menahan diri. Publik di media sosial terbagi, dengan dukungan untuk Palestina bersaing dengan kritik terhadap Macron sebagai intervensi berlebihan. Oleh karena itu, isu ini terus memicu perdebatan global.
Latar Belakang Solusi Dua Negara
Solusi dua negara tetap menjadi fokus diplomasi internasional untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Indonesia, melalui Presiden Prabowo Subianto, menyatakan kesiapan mengakui Israel jika Palestina merdeka, menegaskan dukungan untuk solusi ini. Konferensi Juni 2025 bertujuan menghidupkan kembali gagasan ini, meski Israel menolak pengakuan Palestina. Lebih dari 140 negara telah mengakui Palestina, tetapi negara-negara Barat besar seperti AS belum mengambil langkah serupa. Dengan demikian, upaya Macron mempercepat momentum pengakuan Palestina.
Tantangan ke Depan
Macron menghadapi tantangan besar untuk mewujudkan pengakuan Palestina tanpa memicu konflik lebih lanjut. Israel kemungkinan akan mempertahankan sikap keras, menyulitkan negosiasi. Selain itu, perpecahan di Eropa dan kurangnya dukungan AS dapat menghambat inisiatif ini. Krisis kemanusiaan di Gaza menuntut solusi segera, tetapi tanpa konsensus global, kemajuan terbatas. Apakah langkah Macron akan membuahkan hasil? Diplomasi yang kuat dan kerja sama internasional akan menentukan keberhasilan.