Pemerintah Jawa Barat mencabut permanen empat izin usaha pertambangan di Gunung Kuda, Cirebon, setelah longsor maut menewaskan 17 pekerja pada 30 Mei 2025. Insiden ini memicu penyelidikan dan tindakan tegas. Apa penyebab dan langkah selanjutnya? Simak fakta berikut!
Longsor Maut di Gunung Kuda
Longsor terjadi di tambang galian C, Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon, pada Jumat, 30 Mei 2025, sekitar pukul 10.00 WIB. Sebanyak 17 pekerja tewas, tujuh luka-luka, dan beberapa masih hilang tertimbun material. Tiga ekskavator dan enam truk juga terkubur. Akibatnya, tim SAR gabungan berjibaku mengevakuasi korban hingga malam hari. Gubernur Jawa Barat langsung meninjau lokasi dan memerintahkan penutupan tambang. Dengan demikian, insiden ini menyoroti bahaya operasi tambang yang buruk.
Penyebab Longsor
Badan Geologi menyebut lokasi tambang berada di zona kerentanan gerakan tanah tinggi, dengan kemiringan lereng curam di atas 45 derajat. Metode penambangan undercutting, yang mengeruk bagian bawah tebing, memicu longsor. Curah hujan tinggi dan material timbunan memperburuk risiko. Pengelola mengabaikan peringatan Dinas ESDM Jawa Barat sejak 2024, termasuk larangan pada 19 Maret 2025. Selain itu, tambang tidak memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Oleh karena itu, kelalaian pengelola menjadi faktor utama bencana.
Pencabutan Empat Izin Tambang
Pemerintah Jawa Barat mencabut izin operasi Koperasi Pondok Pesantren Al-Azhariyah, dua izin Kopontren Al-Ishlah, dan satu izin dalam tahap eksplorasi melalui SK Gubernur pada 30 Mei 2025. Keputusan ini menanggapi pelanggaran standar keselamatan dan metode penambangan yang salah. Tambang ditutup permanen, dan aktivitas dihentikan sejak sore hari kejadian. Gubernur juga meminta Perhutani menjelaskan alih fungsi lahan hutan menjadi tambang. Akibatnya, langkah ini menegaskan komitmen menjaga keselamatan. Dengan demikian, pengawasan tambang menjadi fokus utama.
Penyelidikan dan Tersangka
Polisi menetapkan dua tersangka, pemilik koperasi dan pengelola operasional, karena sengaja mengabaikan larangan Dinas ESDM. Mereka memerintahkan penambangan tanpa izin operasi sah dan standar keselamatan kerja. Polisi memeriksa enam saksi dan mengusut dugaan pelanggaran pidana, termasuk Pasal 359 KUHP tentang kelalaian menyebabkan kematian. Penyelidikan juga menyoroti potensi longsor susulan akibat lereng labil. Sementara itu, Kementerian ESDM mengirim tim inspektur untuk mengevaluasi aspek teknis. Oleh karena itu, penegakan hukum berjalan ketat.
Respons Publik
Masyarakat menyuarakan kemarahan di media sosial, menuntut pertanggungjawaban pengelola dan pengawasan tambang yang lebih ketat. Sebagian warga mendesak evaluasi menyeluruh terhadap tambang galian C di Jawa Barat. Keluarga korban meminta keadilan dan dukungan medis bagi yang luka. Diskusi publik menyoroti risiko lingkungan dan keselamatan pekerja. Akibatnya, insiden ini memicu seruan reformasi pengelolaan tambang. Dengan demikian, tekanan publik mendorong tindakan preventif.
Upaya Reformasi Pengelolaan Tambang
Pemerintah Jawa Barat memberlakukan moratorium penerbitan izin tambang baru untuk mengevaluasi operasi galian C. Kementerian ESDM berencana memperketat pengawasan teknis melalui inspektur tambang. Program edukasi keselamatan kerja akan diperluas untuk pekerja tambang. Selain itu, pemerintah daerah akan bekerja sama dengan Badan Geologi untuk memetakan zona berisiko tinggi. Langkah ini bertujuan mencegah bencana serupa dan melindungi pekerja serta lingkungan. Oleh karena itu, reformasi ini akan memperkuat keamanan pertambangan.