Barak Militer Dedi Mulyadi Dicap Langgar HAM, Laporan Mengalir!

Dedi Mulyadi Dilaporkan ke Komnas HAM

Barak militer Dedi Mulyadi memicu badai kontroversi di Jawa Barat. Program pendidikan karakter yang mengirim pelajar bermasalah ke barak militer sejak 2 Mei 2025 kini menuai protes dan laporan ke Komnas HAM karena diduga melanggar hak anak. Gubernur Dedi Mulyadi bersikukuh program ini efektif, tetapi kritik dari orang tua, psikolog, dan aktivis HAM mengguncang publik. Mengapa program ini memicu protes, dan bagaimana respons Dedi? Simak ulasannya!

Awal Mula Program Barak Militer

Dedi Mulyadi meluncurkan program Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan untuk pelajar SMP dan SMA yang dianggap “nakal,” seperti terlibat tawuran, narkoba, atau kecanduan game. Sebanyak 69 siswa dari Purwakarta dan Bandung mengikuti pelatihan di Resimen Armed 1 Sthira Yudha dan Rindam III Siliwangi. Selain itu, mereka menjalani rutinitas ketat: bangun pukul 04.00 WIB, olahraga, belajar bela negara, dan ibadah. Dedi mengklaim program ini menanamkan disiplin, atas permintaan orang tua yang kewalahan.

Bacaan Lainnya

Laporan ke Komnas HAM: Dugaan Pelanggaran HAM

Pada 8 Mei 2025, Adhel Setiawan, orang tua murid dari Bekasi, mengadukan Dedi ke Komnas HAM, seperti Kompas.com melaporkan. Bersama LBH Pendidikan Indonesia, Adhel menilai program ini bertentangan dengan falsafah pendidikan yang memanusiakan anak. “Anak bukan benda yang dibentuk, tetapi subjek yang perlu bimbingan,” tegasnya. Akibatnya, ia mempertanyakan kurikulum militer dan menduga adanya intimidasi. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro meminta evaluasi karena TNI tidak berwenang mengelola pendidikan sipil. Laporan ini memicu gelombang kritik di media sosial.

Kritik Pedas dari Psikolog dan Aktivis

Psikolog anak Farraas Afiefah Muhdiar menyoroti risiko kesehatan mental pelajar. “Kenakalan remaja berasal dari trauma atau masalah keluarga, bukan hanya kurang disiplin,” katanya. Oleh karena itu, pendekatan militer tidak menyelesaikan akar masalah. Imparsial menyebut program ini berbahaya karena memperkuat budaya kekerasan. Meski begitu, Direktur PKPA Keumala Dewi menegaskan bahwa anak “nakal” sering kali menjadi korban kondisi keluarga disfungsional. Faktor risiko program ini mencakup:

  • Kurangnya dialog dengan orang tua dan guru.
  • Potensi stres akibat rutinitas militer ketat.
  • Tidak adanya payung hukum untuk pelibatan TNI.

Respons Dedi Mulyadi: Tetap Optimistis

Dedi Mulyadi menanggapi laporan dengan optimisme. “Terima kasih atas perhatian masyarakat,” ujarnya, seperti @tribunnews tulis di X. Ia menegaskan bahwa program ini tidak melibatkan kekerasan fisik dan berjalan atas izin orang tua. Selain itu, Menteri HAM Natalius Pigai mendukung, menyebut program ini sebagai pembentukan karakter, bukan hukuman fisik. Dedi sempat berencana memperluas program ke orang dewasa bermasalah, seperti preman, mulai Juni 2025. Namun, tekanan publik memaksa Dedi membatalkan rencana awal pada 10 Mei 2025 dan beralih ke pendekatan lebih humanis.

Dampak dan Jalan ke Depan

Barak militer Dedi Mulyadi menyisakan perdebatan sengit. Pendukung, seperti Sekretaris Fraksi PKS DPRD DKI, melihat pelatihan ini menyalurkan energi positif pelajar. Sebaliknya, penentang, termasuk Komnas HAM, menilai program ini melanggar hak anak dan tidak efektif. Akibatnya, Dedi kini berkoordinasi dengan lembaga pendidikan untuk merumuskan solusi alternatif, seperti sekolah khusus bagi pelajar bermasalah. Masyarakat dapat melapor ke hotline KPAI jika menemukan dugaan pelanggaran dalam program serupa. Apa pendapat Anda tentang kontroversi ini? Tulis di kolom komentar!

Pos terkait