Musim Kemarau 2025: BMKG Prediksi Puncaknya

Prediksi Musim Kemarau 2025

Musim Kemarau 2025 segera tiba, dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncaknya terjadi pada Juni hingga Agustus, menurut CNNIndonesia.com. Sebanyak 43% wilayah Indonesia, atau 298 Zona Musim (ZOM), akan mengalami kekeringan puncak pada Agustus, dengan durasi kemarau lebih pendek dari biasanya, kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati. Fase peralihan (pancaroba) saat ini menunjukkan cuaca panas di siang hari dan hujan singkat di sore hingga malam, menurut @CNNIndonesia. Fenomena iklim seperti ENSO dan IOD berada pada fase netral, meminimalkan gangguan cuaca ekstrem, menurut BMKG. Bagaimana dampaknya bagi masyarakat? Simak ulasan berikut!

Awal Kemarau: Bertahap Sejak April

BMKG mencatat awal Musim Kemarau 2025 berlangsung bertahap. Misalnya, 115 ZOM memasuki kemarau pada April, meliputi Lampung timur, pesisir Jawa, dan Nusa Tenggara. Keren ini, jumlah wilayah bertambah pada Mei, mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Papua selatan. Akibatnya, Juni menandai perluasan kemarau ke Sumatera dan Kalimantan, kata Dwikorita. Oleh karena itu, masyarakat di wilayah ini perlu mempersiapkan cadangan air. Sementara itu, pancaroba memicu hujan singkat dengan petir.

Bacaan Lainnya

Puncak dan Sifat Kemarau: Agustus Jadi Sorotan

Puncak Musim Kemarau 2025 terjadi pada Juni hingga Agustus, dengan Agustus sebagai bulan tersulit bagi Jawa tengah-timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku. Contohnya, 60% wilayah mengalami kemarau normal, 26% lebih basah, dan 14% lebih kering dari rata-rata. Dengan demikian, Sumatera dan Kalimantan berpotensi mengalami kemarau lebih panjang, kata Dwikorita. Meski begitu, durasi kemarau lebih pendek di sebagian besar wilayah. Keren ini, BMKG merekomendasikan pembasahan lahan gambut untuk mencegah kebakaran hutan.

Faktor Iklim: ENSO dan IOD Netral

Faktor iklim mendukung kondisi normal. Pertama, fenomena El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) berada pada fase netral hingga semester II 2025. Kedua, suhu muka laut di Indonesia lebih hangat hingga September, memengaruhi cuaca lokal, kata Ardhasena Sopaheluwakan. Ketiga, radiasi matahari yang kuat meningkatkan potensi awan konvektif. Oleh karena itu, hujan singkat tetap mungkin terjadi selama kemarau. Sebaliknya, ketidakstabilan atmosfer memicu petir dan angin kencang.

Dampak: Pertanian dan Ketersediaan Air

Musim Kemarau 2025 mengancam sektor vital. Contohnya, petani di Jawa dan Nusa Tenggara menghadapi risiko gagal panen akibat kekurangan air. Sementara itu, wilayah perkotaan berpotensi mengalami penurunan kualitas udara akibat kebakaran lahan, kata Dwikorita. Dengan demikian, ketersediaan air bersih di Kalimantan dan Sumatera menjadi perhatian. Meski begitu, kemarau yang lebih basah di 26% wilayah, seperti Lampung dan Bali, dapat mengurangi risiko kekeringan. Keren ini, BMKG menyarankan pengisian embung air untuk cadangan.

Langkah Mitigasi: Siapkan Antisipasi

BMKG merekomendasikan langkah berikut:

  • Basahi lahan gambut untuk mencegah kebakaran hutan.

  • Isi embung dan waduk sebagai cadangan air.

  • Pantau prakiraan cuaca melalui laman resmi BMKG.

  • Terapkan irigasi hemat air untuk pertanian.

Sementara itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan kesiapsiagaan terhadap karhutla. Oleh karena itu, masyarakat diimbau mengoptimalkan penggunaan air, kata Dwikorita. Sebaliknya, sektor pertanian harus menyesuaikan pola tanam.

Hadapi Kemarau dengan Bijak

Musim Kemarau 2025 menantang Indonesia dengan puncaknya pada Juni–Agustus, meskipun lebih pendek di banyak wilayah. Dengan kondisi iklim normal dan langkah mitigasi yang tepat, masyarakat dapat meminimalkan dampaknya. Bagaimana Anda mempersiapkan diri menghadapi kemarau? Tulis pandapat Anda di kolom komentar dan ikuti perkembangan di situs kami!

Pos terkait