Halo Jakarta – Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia kini diguncang polemik internal yang menarik perhatian nasional. Posisi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dijabat Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya tiba-tiba jadi pusat badai setelah muncul surat keputusan yang meminta ia mundur. Surat itu lahir dari rapat Syuriyah PBNU dan langsung viral di media sosial. Meski PBNU buru-buru bantah keabsahannya, konflik ini ungkap retak halus di struktur organisasi. Apa kronologi lengkapnya, siapa tokoh kunci yang terlibat, dan apa implikasinya bagi NU? Mari kita telusuri secara mendalam.
Rapat Syuriyah Hingga Surat Keputusan yang Viral
Konflik ini bermula dari rapat harian Syuriyah PBNU di Hotel Aston City, Jakarta Pusat, pada Kamis malam (20 November 2025). Rapat yang dipimpin Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dihadiri 37 dari 53 anggota pengurus harian Syuriyah. Hasilnya, keluar keputusan berupa surat bernomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025 yang ditandatangani Wakil Rais Aam Afifuddin Muhajir dan Katib Ahmad Tajul Mafakhir pada 25 November 2025. Surat itu tuntut Gus Yahya mundur sukarela paling lambat 3 hari setelah terima risalah. Jika tidak, Syuriyah akan berhentikan secara paksa.
Pada 26 November 2025 pukul 00.45 WIB, status Gus Yahya secara efektif dicabut. Surat itu sebut: “Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas, maka KH Yahya Cholil Staquf tidak lagi berstatus sebagai Ketua Umum PBNU terhitung mulai 26 November 2025 pukul 00.45 WIB.” Lebih lanjut, “Bahwa berdasarkan butir 3 di atas, maka KH Yahya Cholil Staquf tidak lagi memiliki wewenang dan hak untuk menggunakan atribut, fasilitas, dan/atau hal-hal yang melekat kepada jabatan Ketua Umum PBNU maupun bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan Nahdlatul Ulama terhitung mulai tanggal 26 November 2025 pukul 00.45 WIB.”
Surat ini juga tuntut PBNU segera gelar rapat pleno untuk pemberhentian dan pergantian fungsionaris, berdasarkan Pasal 7 Ayat (4) Peraturan Perkumpulan NU Nomor 10 Tahun 2025 tentang Rapat, Pasal 8 huruf a dan b Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris, serta Peraturan Pengurus Besar NU Nomor 01/X/2023 tentang Pedoman Pemberhentian Pengurus. Selama jabatan Ketua Umum kosong, kepemimpinan sepenuhnya di tangan Rais Aam.
Timeline konflik secara ringkas:
- Sebelum 25 November 2025: Rapat Syuriyah tuntut Gus Yahya mundur.
- 25 November 2025: Surat keputusan ditandatangani Afifuddin Muhajir dan Ahmad Tajul Mafakhir.
- 26 November 2025 pukul 00.45 WIB: Status Gus Yahya dicabut efektif.
- 26 November 2025: PBNU rilis surat penjelasan bernomor 4786/PB.03/A.I.01.08/99/11/2025, dan Gus Yahya beri pernyataan.
Tokoh Kunci dan Respons Mereka: Pembantahan Keras dari PBNU dan Gus Yahya
Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Ketua Umum PBNU sejak 2021, langsung bantah keabsahan surat itu pada 26 November 2025. Ia sebut surat tidak memenuhi standar administrasi NU. “Nah kenapa tidak sah? Pertama, karena surat itu tidak memenuhi standar administrasi NU yang sudah diatur dalam satu set aturan di lingkungan NU, yaitu bahwa surat edaran itu tidak ditandatangani oleh empat orang dari unsur Syuriyah dan Tanfidziyah. Maka sebagai surat edaran itu tidak dapat diterima,” ujarnya kepada wartawan. Gus Yahya tambah: “Itulah sebabnya kemudian surat edaran itu juga tidak bisa mendapatkan pengasihan dari sistem digital kita sehingga walaupun draf sudah dibuat tapi tidak bisa mendapatkan stempel digital dan apabila dicek di link bawah surat itu, itu akan diketahui bahwa nomor surat yang dicantumkan di situ juga tidak dikenal. Sehingga surat itu memang tidak memenuhi ketentuan dengan kata lain tidak sah dan tidak mungkin bisa digunakan sebagai dokumen resmi.”
Amin Said Husni, Wakil Ketua Umum PBNU, juga bantah keras pada 26 November 2025. Ia verifikasi bahwa dokumen itu bukan resmi setelah cek administratif dan digital. “Surat resmi PBNU harus ditandatangani oleh empat unsur, yakni Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, serta Sekretaris Jenderal. Dokumen yang beredar tidak memenuhi ketentuan tersebut,” katanya. Amin Said jelaskan surat punya watermark “DRAFT”, status “TTD Belum Sah” saat scan QR code, dan nomor surat tak terdaftar di laman verifikasi.nu.id/surat. Ia imbau: “PBNU meminta seluruh pihak melakukan verifikasi keaslian surat melalui situs verifikasi-surat.nu.id atau menggunakan Peruri Code Scanner. Keabsahan dokumen PBNU ditentukan oleh prosedur administrasi resmi, bukan oleh beredarnya informasi.” Ia tegas: “Kedisiplinan administrasi sangat penting untuk menjaga ketertiban organisasi dan mencegah kesimpangsiuran informasi.”
Tokoh lain seperti Afifuddin Muhajir (Wakil Rais Aam) dan Ahmad Tajul Mafakhir (Katib) yang tandatangani surat belum beri keterangan resmi. KH Miftachul Akhyar, Rais Aam, juga belum komentar.
Dokumen, Aturan, dan Verifikasi yang Jadi Kunci Konflik
Fakta krusial:
- Nomor Surat Keputusan: 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025, tanggal 25 November 2025.
- Nomor Surat Penjelasan PBNU: 4786/PB.03/A.I.01.08/99/11/2025, tanggal 26 November 2025 M/05 Jumadal Akhirah 1447 H.
- Aturan Dirujuk: Peraturan Perkumpulan Nomor 16 Tahun 2025 tentang Pedoman Administrasi; sistem persuratan dengan stempel digital Peruri, QR code, dan footer elektronik.
- Mekanisme Verifikasi: Situs verifikasi.nu.id/surat tunjukkan “Nomor Dokumen tidak terdaftar”; dokumen harus tandatangani empat unsur (Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, Sekretaris Jenderal).
- Tuntutan: Rapat pleno segera untuk pemberhentian dan pergantian fungsionaris; verifikasi keaslian dokumen via saluran resmi cegah kesimpangsiuran.
Ancaman Pecah dan Pentingnya Disiplin Administrasi
Konflik ini berpotensi guncang stabilitas PBNU, organisasi dengan jutaan anggota yang jadi pilar moderasi Islam. Risiko perpecahan internal tinggi jika dokumen tak sah terus beredar. Gus Yahya curiga ada pihak eksternal yang ingin NU pecah. Penekanan pada disiplin administrasi seperti yang ditegaskan Amin Said jadi pelajaran: hanya dokumen resmi yang sah. PBNU diharap segera gelar rapat pleno untuk selesaikan kekosongan jabatan dan jaga keutuhan. Peristiwa ini ingatkan betapa rapuhnya struktur kepemimpinan jika prosedur tak dijunjung—bisa pengaruh arah kebijakan NU ke depan.




